Welcome to my Blog

Jumat, 14 Desember 2012

MAKALAH KAIDAH FIQIH UMUM I


MAKALAH
KAIDAH FIQIH UMUM I
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah : Qowa’idul Fiqhiyyah
Dosen Pengampu:  Ahmad Rofi’i, MA, LL. M.

Disusun Oleh :
Kelompok 4
·         Awang Prabowo   (14112220022)
·         Cucun                    (14112220169)                 
·         Fanny Lestari        (14112210047)

Fakultas Syariah/ MEPI 5 -Smt 3
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI CIREBON
2012
BAB I
PENDAHULUAN

Formulasi fiqh yang telah terkodifikasi pada era klasik merupakan hasil komunikasi antara teks wahyu dengan keadaan yang melingkupi mujtahid pada masa itu, oleh karena itu sangat mungkin jika materi fiqh klasik dinilai tidak sesuai dengan kondisi kekinian. Namun pendekatan fiqh dengan adanya komunikasi antara teks dengan keadaan menjadikan fiqh bersifat reseptif, humanis dan aplikatif. Pendekatan fiqh selama ini sangat beragam, diantaranya adalah melalui pendekatan ushul al-fiqh dan kaidah fiqh. Kedua pendekatan tersebut dinilai masih mampu merumuskan fiqh yang sesuai dengan kondisi kekinian karena melalui pendekatan deduktif dan induktif.
Pendekatan fiqh yang bersifat induktif dirasa lebih mampu menyelesaikan problematika sosial kekinian dengan meciptakan rumusan fiqh yang aplikatif, bukan normatif. Pendekatan semacam ini dapat terwakili oleh pendekatan kaidah fiqh, mengingat kaidah fiqh merupakan kesimpulan esensi wahyu yang mengadung maqasid al-shar’ yang terumuskan melalui istiqra’.
Dengan asumsi di atas, makalah ini mencoba menguraikan tentang kaidah fiqh umum 1 yaitu: اﻹجتهاد ﻻ ينقض باﻹجتهاد  ,  التَّابِعُ تَابِعٌ, ﺇعمال الكلام ﺃولى من ﺇهمالها.












BAB II
KAIDAH FIQIH UMUM I

A.    Kaidah اﻹجتهاد ﻻ ينقض باﻹجتهاد 
“Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian (baru).”[1] Ijtihad adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan. Menurut kaidah ini, ijtihad tidak dapat diubah dengan ijtihad yang lain, maksudnya yaitu suatu hasil ijtihad pada masa lalu, tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum yang sama. Hasil ijtihad yang lama masih tetap berlaku pada masa itu, dan hasil ijtihad yang sekarang berlaku pada masa sekarang.[2] Misalnya: seseorang pada waktu Dzhuhur telah memutuskan ijtihad tentang kiblat. Kemudian ketika hendak shalat Ashar ia mendapati ijtihadnya berbeda dengan yang Dzhuhur tadi, maka yang Dzhuhur tidak dianggap batal dan Dzhuhurnya tetap sah. Contoh lain, seperti dikatakan oleh Umar bin Khattab:[3]
تلك على ما قضينا وﻫﺬا على ما نقضي
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Alasannya adalah karena hasil dari ijtihad ke dua tidak berarti lebih kuat dari hasil ijtihad yang pertama. Apabila hasil ijtihad yang pertama harus dibatalkan oleh yang kedua maka akan menimbulkan ketidak adilan hukum.
Dasar hukum kaidah ini terdapat pada firman Allah Swt.
(#qà)Î7tFó$$sù..... ÏNºuŽöyø9$# ......4   ÇÊÍÑÈ
Artinya: Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. (Q.S. Al-Baqarah: 148)[4]
 Ada pengecualiaan dalam kaidah ini, yaitu apabila jelas-jelas hasil ijtihadnya salah, karena menyalahi sumber hukum, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits.
B.     Kaidah التابع تابع    
“Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti” Secara sederhana makna kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ  adalah segala sesuatu yang berstatus sebagai pengikut (tabi’) secara hukum harus mengikuti pada sesuatu yang diikuti (matbu’).[5]
Contoh dalam kaidah ini, diantaranya: Apabila seseorang membeli kambing, maka termasuk dalam kambing tersebut kulitnya. Demikian juga, apabila kambingnya sedang bunting maka anak yang masih dikandungnya termasuk yang dibeli. Apabila shalat berjama’ah, maka makmum wajib mengikuti imam.
            Dasar hukum dari kaidah ini terdapat dalam hadits:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ أَخْبَرَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال كَانُوا يَتَبَايَعُونَ الْجَزُورَ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَسَّرَهُ نَافِعٌ أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ مَا فِي بَطْنِهَا
            Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah mengabarkan kepada kami Juwairiyah dari Nafi' dari 'Abdullah radliallahu 'anhu berkata: "Dahulu orang-orang Jahiliyah mempraktekkan jual beli apa yang ada didalam perut unta hingga unta itu melahirkan kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarangnya. Nafi' menafsirkan yang dimaksud dengan Al Jazur adalah: Unta melahirkan apa yang ada didalam perutnya".[6]
            Penguat dari hadits di atas yaitu:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُونَ لُحُومَ الْجَزُورِ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ قَالَ وَحَبَلُ الْحَبَلَةِ أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ مَا فِي بَطْنِهَا ثُمَّ تَحْمِلَ الَّتِي نُتِجَتْ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ
            Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah telah mengabarkan kepadaku Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Dahulu orag-orang jahiliyyah menjual daging anak unta yang masih dalam kandungan. Dia berkata; Yang dimaksud dengan habalul habalah adalah unta dibeli berupa apa yang ada dalam kandungannya kemudian unta tersebut mengandung apa yang diperjual belikan itu, maka kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang praktek jual beli seperti itu.”[7]
Cabang dari kaidah ini, yaitu:
1.      التَّابِعُ أَنَّهُ لَا يُفْرَدُ بِالْحُكْمِ
Sesuatu yang mengikuti tidak dapat berdiri sendiri secara hukum (tidak dapat memiliki hukum tersendiri).[8] Kaidah ini disebutkan oleh Ibnu Nujaym dan al-Suyuti dan al-Subki. Namun al-Zarqa memberikan redaksi tambahan “التابع لا يفرد بالحكم ما لم يصر مقصوداً”.[9] Artinya, sesuatu yang mengikuti tidak dapat memiliki hukum sendiri selama tidak menjadi tujuan. Pada dasarnya tidak terjadi perbedaan sekalipun terdapat tambahan. Terdapat redaksi lain mengenai kaidah ini dengan pengertian yang sama, yakni يثبت تبعا ما لا يثبت استقلالا. (sesuatu yang tetap karena menjadi pengikut, maka tidak dapat ditetapkan secara mandiri).[10] Selain itu dalam al-Majallah al-‘Adliyyah pasal 48 beserta kitab sharahnya terdapat kaidah senada dengan redaksi yang berbeda, yakni “التابع لا يقرر بالحكم” (Perkara yang mengikuti tidak dapat ditetapkan hukumnya [secara mandiri]).[11] Berbagai redaksi yang berbeda tersebut pada dasarnya memiliki satu makna yang dikehendaki, yakni sesuatu yang diidentifikasi sebagai pengikut (sesuatu yang mengikuti) tidak dapat memiliki ketetapan hukum tersendiri yang tidak terikat dan tidak terkait dengan hukum sesuatu yang diikuti.
Kaidah ini telah banyak diaplikasikan dalam berbagai ketentuan fiqh, diantaranya tentang masyarakat dan pemimpinnya di mana masyarakat tidak dapat menentukan hukum tanpa persetujuan pemimpin, oleh karenanya menurut Imam al-Rafi’i perusakan perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat kafir ataupun muslim tanpa sepengetahuan pemimpinnya tidak dianggap sah dan tidak memiliki status hukum karena masyarakat tergolong tabi’ yang tidak dapat berdiri sendiri.[12] Namun demikian, kaidah ini memiliki Eksepsi (Mustathnayat) dalam penerapannya, diantaranya tentang hak waris anak dalam kandungan yang seharusnya masih mengikuti ibunya, tetapi jika dinilai bahwa sang anak dimungkinkan akan lahir ia maka ditetapkan berhak memiliki bagian harta waris jika pada saat itu sang ayah meninggal.[13]

2.      من ملك شيئاً ملك ما هو من ضروراته
Kaidah ini ditemukan dalam al-Majallah al-‘Adliyyah dan kaidah susunan al-Zarqa. Maksud dari kaidah adalah barang siapa memiliki sesuatu maka ia berarti memiliki apa yang menjadi hubungannya dari sesuatu itu.[14] Berdasarkan kaidah inilah Riyad bin Mansur al-Khulayfi  dalam karyanya menyatakan bahwa kaidah ini senada dengan kaidah:[15]
والحريم له ما هو حريم له
“Suatu batas hukumnya sama dengan sesuatu yang dibatasi”
والرضا بالشيء رضا بما يتولد منه .
“Rela dengan sesuatu berarti rela dengan apa yang timbul dari sesuatu itu”
Aplikasi kaidah ini misalnya, hukum membeli rumah berarti membeli jalan (halaman yang dijadikan jalan) menuju rumah tersebut.[16] Adapun Eksepsi (Mustathnayat) kaidah ini adalah ketetapan mengenai seorang wakil untuk membeli sesuatu, kemudian harta yang dibeli itu rusak di tangan wakil maka wakil harus menanggungnya, karena sekalipun wakil merupakan tabi’, tetapi tabi’ yang dikehendaki adalah tabi’ dari matbu’ berupa pembelian saja.[17] Selain dari contoh pengecualian ini, tidak ditemukan contoh lain.
3.       التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَتْبُوعِ
Makna dari kaidah di atas adalah sesuatu yang mengikuti dinyatakan gugur dengan gugurnya sesuatu yang diikuti.[18] Semua ulama’ terlihat sepakat dalam penggunaan kaidah ini sekalipun terdapat redaksi yang berbeda dengan pengertian yang sama, diantaranya menurut al-Zarqa “إذا سقط الأصل سقط الفرع”.[19] Juga terdapat redaksi lain yang semakna, yakni “الفرع يسقط إذا سقط الأصل”.[20] Juga terdapat redaksi kaidah senada dalam al-Majallah al-‘Adliyyah dan Sharahnya, yakni
 إذا بطل شيء بطل ما في ضمنه”.[21] Dan juga kaidah “اذا بطل المتضمِّن بطل المتضمَّن”.[22] Aplikasi kaidah ini sangat banyak dalam literature fiqh yang ada, di antaranya hukum barang yang menjadi jaminan hutang merupakan tabi’ dari hutang, oleh karenanya jika si pemberi hutang merelakan hutang itu, maka jaminan tersebut ikut gugur dan harus dikembalikan pada orang yang hutang.[23] Sebagaimana kaidah pada umumnya, kaidah ini juga memiliki Eksepsi (Mustathnayat), di antaranya ketika kesepakatan aman (damai) antara muslim dengan non muslim terjadi, maka wanita dan anak kecil merupakan tabi’ dari laki-laki sebagai pelaku akad aman. Namun jika ternyata kesepakatan itu rusak, wanita dan anak kecil tetap harus dilindungi.[24] Dari eksepsi yang ada, terlihat bahwa eksepsi tersebut merupakan hukum yang telah ditentukan oleh nash hadits yang sharih, sehingga bisa dikatakan bahwa status tabi’ dalam contoh eksepsi tersebut merupakan tabi’ yang telah memiliki tujuan tersendiri. Dan hal ini terkait dengan kaidah يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا dan kaidah يُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ ضِمْنًا مَا لَا يُغْتَفَرُ قَصْدًا.
4.      يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
Makna kaidah adalah sesuatu yang ditolelir pada tabi’, tidak berlaku pada selain tabi’ (matbu’).[25] Terdapat kaidah yang senada dengan kaidah ini, yakni “يُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ ضِمْنًا مَا لَا يُغْتَفَرُ قَصْدًا”.[26] Al-Suyuti menambahkan kaidah yang senada berupa kaidah “يغتفر في الثواني ما لا يغتفر في الأوائل” dan “أوائل العقود تؤكد بما لا يؤكد به أواخرها”.al-Suyuti menilai bahwa kaidah yang paling umum digunakan adalah kaidah
يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا”.[27] Menurut Muhammad Sidqi ibnu Ahmad al-Barnu selain kaidah diatas terdapat satu lagi kaidah yang senada, yakni “قد يثبت شيء ضمنا وحكما ولا يثبت قصدا”. Menurutnya, kaidah-kaidah di atas berpangkal pada kaidah al-Karkhi yang berbunyi “الأصل أنه قد يثبت الشيء تبعا وحكما وإن كان يبطل قصدا”.[28]
Aplikasi dari kaidah ini sebagaimana contoh eksepsi dari kaidahالتَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَتْبُوعِ  dan juga dalam ketentuan hukum jika dalam keadaan ihram seseorang dilarang untuk menikah, namun jika sebatas ruju’ maka hukumnya boleh karena ruju’.[29] Oleh karena kaidah ini merupakan eksepsi kaidah lain, maka tidak ditemukan eksepsi dalam kaidah ini.
5.      التَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوعِ
Makna kaidah adalah sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului sesuatu yang diikuti.[30] Kaidah ini menandakan bahwa yang menjadi panutan senantiasa harus didahulukan dan diprioritaskan, sedangkan pengikut harus di setelahnya. Aplikasi kaidah ini sangat banyak dalam referensi fiqh yang ada, di antaranya hukum jual beli dengan syarat gadai diperbolehkan dengan syarat dalam pengucapan akad (transaksi) harus mendahulukan lafadz jual beli dan mengakhirkan lafadz gadai, karena pensyaratan berupa gadai merupakan tabi’ dari bay’.[31] Dalam penelusuran sementara, tidak ditemukan eksepsi kaidah ini.
6.       الساقط لا يعود
Makna kaidah ini adalah bahwa jika seseorang menggugurkan hak-nya maka hak tersebut beserta sesuatu yang mengikuti hak tersebut juga gugur dan tidak dapat dikembalikan lagi.[32] Imad Ali jum’ah memberikan tambahan redaksi pada kaidah ini, menjadi “الساقط لا يعود كما أن المعدوم لا يعود”.[33] Aplikasi kaidah ini diantaranya, jika seseorang telah membebaskan hutang orang lain, maka ia tidak dapat menarik kembali pembebasan tersebut beserta sesuatu yang mengikutinya seperti melakukan penagihan dan penuntutan. Dan mengenai eksepsi tidak ditemukan dalam kaidah ini.
7.      التَّابِعُ لاَ يَكُونُ لَهُ تَابِعٌ
Makna kaidah ini bahwa sesuatu yang mengikuti tidak memiliki pengikut. Artinya bahwa sesuatu yang menjadi pengikut tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang diikuti. Kaidah ini hanya ditemukan dalam karya al-Zarkashi.[34] Aplikasi kaidah ini diantaranya, melukai jari terkena hukum diyat. Diyat jari dengan diyat telapak tangan berbeda kadarnya, oleh karenanya melukai jari bukan berarti melukai telapak tangan secara keseluruhan. Eksepsi dari kaidah ini diantaranya, seorang wakil dapat mewakilkan pada orang lain, maka wakil yang pada dasarnya merupakan tabi’ dari muwakkil memiliki hak untuk mewakilkan kembali, sehingga wakil (tabi’) memiliki tabi’ yang lain.
8.       إذا بطل الأصل يصار إلى البدل
Maksud akidah ini adalah sesuatu yang menjadi kewajiban (asal) jika batal terlaksana maka harus dipenuhi gantinya. Asal yang dimaksud adalah suatu kewajiban, sedangkan batal maksudnya adalah kesulitan memenuhi karena ada alasan.[35] Analisa yang teramati mengenai penjelasan penggabungan kaidah ini sebagai kaidah turunan adalah karena asal di sini dinilai sebagai matbu’, sedangkan badal dinilai sebagai tabi’, sehingga tabi’ disini dapat menempati posisi matbu’. Aplikasi kaidah diantaranya, jika suatu akad ijarah (sewa menyewa) dilakukan dengan jangka waktu satu bulan, maka perhitungan sebulan seharusnya dilakukan dengan melihat hilal. Namun jika ternyata sulit dilakukan maka sebulan diganti dengan 30 hari sebagaimana umumnya.
Ø  Makna Keseluruhan Kaidah التابع تابع
Pengertian pengikut (tabi’) dalam kaidah adalah bagian sesuatu yang tersambung dan sulit untuk dipisahkan dengan sesuatu tersebut atau akibat yang ditimbulkan dari sesuatu. Analisa yang teramati sehubungan dengan kaidah tabi’ ini, bahwa kaidah pokok dan kaidah turunan memiliki keterkaitan erat dalam menentukan sebuah hukum, oleh karenanya perlu kiranya perumusan makna secara menyeluruh mengenai kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ dan berbagai kaidah turunannya, agar tidak terjebak dalam pemahaman secara parsial.
Rumusan makna keseluruhan adalah segala sesuatu yang berstatus sebagai pengikut (tabi’) secara hukum harus mengikuti pada sesuatu yang diikuti (matbu’). Oleh karenanya, tabi’ tidak dapat memiliki ketetapan hukum tersendiri dari hukum sesuatu yang diikuti (التَّابِعُ أَنَّهُ لَا يُفْرَدُ بِالْحُكْمِ), sehingga jika seseorang memiliki sesuatu maka berarti ia bertanggung jawab atas apa yang berhubungan (akibat) dengan sesuatu itu (من ملك شيئاً ملك ما هو من ضروراته) dan jika sesuatu yang diikuti dinyatakan gugur maka pengikut juga dinyatakan gugur (التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَتْبُوعِ), kecuali dalam hal tabi’ teridentifikasi memiliki dasar nash wahyu tersendiri sehingga tabi’ merupakan hukum yang berdiri sendiri dan menyatakan perbedaan dengan kaidah di atas, maka tabi’ tidak mengikuti pada matbu’ (يُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ ضِمْنًا مَا لَا يُغْتَفَرُ قَصْدًا). Makna keseluruhan kaidah di atas memiliki imlpikasi etis, yakni:
a.       bahwa sesuatu diikuti (matbu’) harus didahulukan/diprioritaskan (التَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوعِ)
b.      bahwa tabi’ tidak boleh memiliki pengikut lainnya (التَّابِعُ لاَ يَكُونُ لَهُ تَابِعٌ) agar tidak terjadi dualisme matbu’.
c.       bahwa sesuatu yang telah digugurkan baik matbu’ maupun tabi’ tidak dapat ditarik kembali (الساقط لا يعود) karena keharaman untuk menarik apa yang telah diberikan.
d.      bahwa tabi’ dapat mengganti/menempati posisi matbu’ jika matbu’ sulit untuk ditempatkan/ditemukan (إذا بطل الأصل يصار إلى البدل).

C.     ﺇعمال الكلام ﺃولى من ﺇهمالها
“Mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”. Suatu kalimat adakalanya jelas dan ada kalanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya maka kalimat tersebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya.[36]
إعمال الكلام  adalah memfungsikan sebuah ucapan dengan cara memberikan hukum yang sesuai dengan konsekuensi bahasanya.
Sedangkan  إهمال الكلام  adalah menghilangkannya dengan membuang dan tidak memberikan hukum yang sesuai dengan konsekuensi ucapan tersebut.[37]
Dengan misal berikut:
Kalau ada orang mengatakan: “Jangan makan panci yang berada diatas kompor ini.” Apakah ini larangan makan panci yang terbuat dari aluminium tersebut? Ataukah dibawa pada makna larangan memakan makanan yang terdapat dalam panci tersebut?.
Yang benar sesuai dengan kaidah diatas adalah bahwa kalimat tersebut dibawa pada makna larangan akan makanan yang terdapat dalam panci, penjabarannya sebagai berikut:
Panci adalah sesuatu yang tidak mungkin dimakan, dan orang yang masih sehat akal dan bahasanya tidak mungkin melarang makan panci, karena tanpa dilarang sekalipun tidak akan ada seorang pun yang melakukannya, maka kalau larangan diatas dibawa pada larangan makan pancinya berarti kalimat tersebut tidak berfungsi, padahal kita masih menemukan celah untuk bisa memfungsikan kalimat diatas yaitu membawanya kepada makna larangan makan apa yang terdapat di dalamnya. Dan inilah makna kaidah memfungsikan sebuah ucapan lebih baik dari pada mengabaikannya.
Bahwa lafadz disampaikan Allah SWT dan Rasul-Nya serta manusia yang masih sehat akal dan bahasanya harus difungsikan makna dan konsekuensinya, karena Allah SWT dan Rasul-Nya tidak mungkin berbicara tanpa makna atau berbicara sesuatu yang seandainya tanpa dibicarakan itupun sudah dipahami oleh semuanya, begitu pula dengan manusia sehat akal dan bahasanya.
Dari sini jika ada sebuah lafadz, maka harus dibawa kepada makna yang memungkinkan untuk difungsikan, baik makna yang hakekat maupun yang majaz. Adapun kalau memang sama sekali tidak bisa difungsikan baik secara makna hakiki maupun makna majazi maka saat itulah baru ucapan itu di non-aktifkan.
Sebagai contoh penerapan yang difungsikan, bisa kita ambil ungkapan seseorang jika berkata: “wallahi, saya tidak akan makan beras ini.”,  Maka sumpah ini harus dibawa pada makna makan makanan yang terbuat dari beras tersebut, misalnya kalau sudah dimasak menjadi nasi, bubur atau lainnya, karena sudah maklum bersama bahwa manusia tidak makan beras, dari sini kalau kalimat ini dibawa pada makna tersebut berarti kalimat ini tidak ada fungsi dan maknanya. Dan di sini, maka kalau ada orang tadi setelah sumpah tersebut makan nasi yang terbuat dari beras, maka ia telah melanggar sumpahnya.
Sedangkan contoh lain yang meniadakan fungsi adalah jika ada seorang suami yang mengatakan tentang istrinya yang sudah jelas ketahuan siapa bapak dan ibunya juga umurnya lebih tua daripada dirinya: “ini adalah putriku”, maka kalimat tidak mengandung makna sama sekali, baik makna yang hakiki maupun majazi, dan pernikahan mereka tetap sah, karena tidak mungkin istrinya tersebut sebagai anaknya, karena sudah jelas diketahui siapa orang tuanya serta umurnya lebih tuda daripada dia, juga tidak ada makna yang bisa dipahami secara majaz. Dari sini maka kalimat ini sama sekali tidak mengandung hukum.[38]



























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini maka dapat disimpulkan bahwa, kaidahاﻹجتهاد ﻻ ينقض باﻹجتهاد   “Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian (baru).” Ijtihad adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan. Menurut kaidah ini, ijtihad tidak dapat diubah dengan ijtihad yang lain, maksudnya yaitu suatu hasil ijtihad pada masa lalu, tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum yang sama. Hasil ijtihad yang lama masih tetap berlaku pada masa itu, dan hasil ijtihad yang sekarang berlaku pada masa sekarang.
Kaidah yang kedua yaitu kaidah التابع تابع  “Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti” Secara sederhana makna kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ  adalah segala sesuatu yang berstatus sebagai pengikut (tabi’) secara hukum harus mengikuti pada sesuatu yang diikuti (matbu’). Cabang dari kaidah ini yaitu:
1.       التَّابِعُ أَنَّهُ لَا يُفْرَدُ بِالْحُكْمِ Sesuatu yang mengikuti tidak dapat berdiri sendiri secara hukum (tidak dapat memiliki hukum tersendiri)”.
2.      من ملك شيئاً ملك ما هو من ضروراتهBarang siapa memiliki sesuatu maka ia berarti memiliki apa yang menjadi hubungannya dari sesuatu itu”.
3.      التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَتْبُوعِSesuatu yang mengikuti dinyatakan gugur dengan gugurnya sesuatu yang diikuti”.
4.      يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَاSesuatu yang ditolelir pada tabi’, tidak berlaku pada selain tabi’ (matbu’)”.
5.       التَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوعِSesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului sesuatu yang diikuti”.
6.      الساقط لا يعودJika seseorang menggugurkan hak-nya maka hak tersebut beserta sesuatu yang mengikuti hak tersebut juga gugur dan tidak dapat dikembalikan lagi”.
7.      التَّابِعُ لاَ يَكُونُ لَهُ تَابِعٌSesuatu yang mengikuti tidak memiliki pengikut. Artinya bahwa sesuatu yang menjadi pengikut tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang diikuti”.
8.      إذا بطل الأصل يصار إلى البدلSesuatu yang menjadi kewajiban (asal) jika batal terlaksana maka harus dipenuhi gantinya”.
Kaidah yang ketiga dalam pembahasan ini yaitu, ﺇعمال الكلام ﺃولى من ﺇهمالها “Mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”. Suatu kalimat adakalanya jelas dan ada kalanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya maka kalimat tersebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya.















DAFTAR PUSTAKA

al-Suyuti, Abd al-Rahman. tt. al-Ashbah wa al-Naza’ir. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah.
al-Rahman bin Nasir al-Sa’adi, Abd. tt. Sharh Nazm al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Maktabah Shamelah.
Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani, Abu al-Fayd. 1997. al-Fawa’d al-Janiyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif. 2009. Al-Qawaid  Al-fiqhiyah Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami. t.t : Pustaka al-Furqon.
Ahmad bin Muhammad al-Zarqa. tt. Sharh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Beirut: Dar al-Qalam.
Haydar, Ali. tt. Durar al-Hukkam Sharh Majallat al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah.
al-Zarkashi, Badr al-Din. tt. al-Manthur fi al-Qawa’id. Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa Shu’un al-Islamiyyah.
Djazuli, A. 2011. Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam          Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Ed. 1. Cet. 4. Jakarta: Kencana.
Hamid Hakim, Abdul. t.t. Mabadi Awwaliyyah Fii Ushulil Fiqhi Wal Qowa’idul Fiqhiyyah. Jakarta: Maktabah As-Sa’adiyah Putra.
Ali Jum’ah, Imad. 2006. al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Muyassarah. Ardan: Dar al-Nafa’is.
Imam al-Bukhari. tt. al-Jami’ al-Shahih li al-Bukhari. t.t Maktabah Shamelah.
Imam Muslim. tt. al-Jami’ al-Sahih li al-Muslim. t.t  Maktabah Shamelah.
Mudjib, Abdul. 1996. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (Al Qowa’idul Fiqhiyyah). Cet. 2. Jakarta: Kalam Mulia.
Ibnu Ahmad al-Burnu, Muhammad Sidqi. 1994. al-Wajiz fi Idah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kulliyyah. Riyadl: Maktabah al-Taubah.
Muhammad Washil, Nashr Farid, dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Terj. Wahyu Setiawan. 2009. Qowa’id Fiqhiyyah. Cet. 1. Jakarta: Amzah.
Riyad bin Mansur al-Khulayfi. tt. al-Minhaj fi Qawa’id al-Fiqhiyyah. t.t. Maktabah Shamelah
Wula, Ibnu. Aplikasi Kaedah Fiqh: Memfungsikan Ucapan Lebih Baik Dari Pada Menghilangkannya.http://ibn3ula.blogspot.com/2011/12/aplikasi-kaedah-fiqh-memfungsikan.html. Rabu, 28 Desember 2011.
Wizarat al-Awqaf wa al-Shu’un al-Islamiyyah, tt. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah. t.t.  Maktabah Shamelah.
Ibnu Nujaym al-Hanafi, Zayn al-Din. 1980. al-Ashbah wa al-Naza’ir. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah.




[1]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-         masalah yang Praktis. Ed. 1. Cet. 4. (Jakarta: Kencana, 2011). hlm. 91.
[2]Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam. Terj. Wahyu Setiawan. Qowa’id                      Fiqhiyyah. Cet. 1., ( Jakarta: Amzah, 2009). hlm. 22.
[3] Djazuli, Op. Cit., hlm.91-92.
[4]Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah Fii Ushulil Fiqhi Wal Qowa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta:                          Maktabah As-Sa’adiyah Putra, tt.). hlm. 38.
[5] Muhammad Washil, Abdul Aziz, Op.Cit., hlm. 23.
http://fiqhrealitas.blogspot.com/2012/04/kaidah-fiqh-pengikut-harusmengikuti.html. (Diakses pada 11 April 2012). Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Maktabah Shamelah), hadits no. 3026 dalam bab Jual Beli (Bay’).
[7] Aplikasi Hadits Online, http://125.164.221.44/hadisonline/.
[8]Zayn al-Din Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah wa al-Naza’ir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah,                     1980). hlm. 120. Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Naza’ir, (Beirut: Dar                              al-Kutub al-‘Alamiyyah, tt). hlm. 117.
[9]Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Sharh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Qalam, tt.).              hlm. 147.
[10]Riyad bin Mansur al-Khulayfi, al-Minhaj fi Qawa’id al-Fiqhiyyah,(Maktabah Shamelah, tt.).              Jilid I, hlm. 11.
[11]Ali Haydar, Durar al-Hukkam Sharh Majallat al-hkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, tt.).                       jilid. I. hlm. 47.
[12]Badr al-Din al-Zarkashi, al-Manthur fi al-Qawa’id ,(Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa Shu’un   al-Islamiyyah, tt.). jilid. I. hlm.234.
[13] Ali Haydar, Durar al-Hukkam, jilid I, hlm. 48.
[14] al-Zarqa, Sharh al-Qawa’id, hlm. 149. Dan Muhammad Sidqi ibnu Ahmad al-Burnu, al-Wajiz                fi Idah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kulliyyah, (Riyadl: Maktabah al-Taubah, 1994).         hlm. 281.
[15] Riyad bin Mansur al-Khulayfi, al-Minhaj fi Qawa’id, hlm. 11.
[16] al-Zarqa, Sharh al-Qawa’id, hlm. 149.
[17]Ibid.
[18] Djazuli, Op. Cit., hlm. 92. Dan al-Suyuti, al-Ashbah, hlm.118. Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah,                      hlm.121.
[19] al-Zarqa, Sharh al-Qawa’id, hlm. 149.
[20] al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 283.
[21] Ali Haydar, Durar al-Hukkam, jilid I, hlm. 49.
[22] al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 289.
[23] al-Zarqa, Sharh al-Qawa’id, hlm. 149.
[24] al-Zarkashi, al-Manthur, jilid I, hlm. 236. Dan al-Suyuti, al-Ashbah, hlm.118.
[25] Djazuli, Op. Cit., hlm. 93.
[26] al-Suyuti, al-Ashbah, hlm.120  dan Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah, hlm.121.
[27] al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Naza’ir, hlm.120.
[28] al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 286.
[29] Ibid.
[30] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (Al Qowa’idul Fiqhiyyah). Cet. 2.( Jakarta: Kalam Mulia,                   1996). hlm. 95.
[31] al-Suyuti, al-Ashbah, hlm.120.
[32] Ali Haydar, Durar al-Hukkam, hlm. 48.
[33] Imad Ali Jum’ah, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, (Ardan; Dar al-Nafa’is, 2006), hlm. 71.
[34] al-Zarkashi, al-Manthur, jilid I, hal. 236. Dan al-Suyuti, al-Ashbah, hlm.237.
[35]Wizarat al-Awqaf wa al-Shu’un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah             al-Kuwaytiyyah,                               (Maktabah Shamelah), jilid. 10, hlm. 99.
[36] Djazuli, Op. Cit., hlm. 104.
[37]Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Al-Qawaid  Al-fiqhiyah Kaedah-Kaedah Praktis                               Memahami Fiqih Islami, (t.t Pustaka al-Furqon, 2009). hlm. 87.
[38]Wula, Ibnu. Aplikasi Kaedah Fiqh: Memfungsikan Ucapan Lebih Baik Dari Pada Menghilangkannya. http://ibn3ula.blogspot.com/2011/12/aplikasi-kaedah-fiqh memfungsikan. html. (Diakses pada Rabu, 28 Desember 2011).