MAKALAH
PEMIKIRAN IBNU HAZM TENTANG EKONOMI
ISLAM
Diajukan
untuk memenuhi tugas UTS
Mata
Kuliah : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dosen
Pengampu: Mabruri Faozi. M. Ag
Disusun
Oleh :
·
Cucun (14112220169)
Fakultas
Syariah/ MEPI 5 -Smt 3
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
SYEKH NURJATI CIREBON
2012
|
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah pemikiran
ekonomi dalam Islam tidak perlu dimulai dengan diskusi tentang ekonomi isi
Alquran dan Sunnah. Ini harus dimulai dengan pandangan tentang isu-isu ekonomi
oleh sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti mereka, tidak sedikit di antara
mereka adalah ahli hukum dari eminensia.
Pentingnya tugas yang
akan membuang banyak cahaya yang diperlukan pada bagaimana pikiran Islam
menanggapi perubahan kondisi ekonomi di berbagai daerah dari seluruh dunia
Islam. Kami sangat membutuhkan terang saja ini untuk bagan kita sendiri melalui
sejarah. Untuk berada di bawah ilusi yang bisa kita lakukan tanpa itu akan
meningkatkan bahaya perjalanan yang sudah sulit.
Maka dari itu, pada
makalah ini saya akan membahas tentang sejarah pemikiran ekonomi Ibnu Hazm
serta seluk beluk riwayat hidup beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Ibnu Hazm
Abu Muhammad Ali bin Hazm (Ibnu
Hazm), bernama lengkap Ali bin Muhammad bin Said bin Hazm bin Ghalib bin Shalif
bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah
bin Abd. Syam al-Umawi. Lahir pada akhir bulan Ramadhan 384 H, di daerah
tenggara kota Cordova, Spanyol atau Andalusia pada saat itu. Sebelum terbitnya
matahari dan ketika sang imam telah selesai mengucapkan salam. Bertepatan
dengan 7 Nopember 994 M dalam buku lain disebutkan pada tahun 184 H (994 M).
Lahir di rumah ayahnya ketika jabatan menterinya sudah dijalani selama tiga
tahun pada masa pemerintahan al-Hajib al-Manshur. Kakeknya Yazid, adalah orang
pertama kali masuk Islam dari para kakeknya. Ia berasal dari Persia, sedangkan
Khalaf, kakeknya yang pertama kali masuk ke negeri Andalusia. Sedangkan
julukannya sAbu Muhammad dan beberapa karyanya ialah “Abu Muhammad”, namun ia
lebih dikenal dengan sebutan “Ibn Hazm”.[1] Ia
berasal dari sebuah keluarga bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad,
seorang keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hijab
al-Mansur Abu Amir Muhammad bin Abu Amir al-Qanthani (w.192 H) dan Hajib Abdul
malik al-mudzaffar (w. 399 H/1009 M).[2]
Sebagai putra seorang menteri, sudah tentu proses pendidikan Ibnu
hazm mendapat perhatian khusus. Para pelayan yang bekerja di rumahnya, tidak
hanya diberi tugas melayani dan mengurusi perihal persoalan rumah tangga
seperti biasanya, melainkan sebagian ada yang diserahi tugas mengajar dan
mendidik Ibnu hazm, seperti penuturan Ibnu Hazm dalam Suwito dan Fauzan, sebagai berikut:
“Aku banyak bergaul dengan para wanita (pengasuh di rumah)
sehingga aku mengetahui segala seluk beluk dan rahasia mereka yang tidak
diketahui oleh orang lain, karena aku diasuh dan dididik di kamar mereka, hidu
dan besar di tengah-tengah mereka. Aku tidak pernah bergaul dengan pria kecuali
setelah usia remaja. Mereka, para pengasuh itulah yang mengajari aku menulis
dan membaca Al-Qur’an serta memperkenalkan berbagai macam syair.”
Dimungkinkan ibu Ibnu Hazm meninggal saat ia masih kecil, namun
dalam tradisi Arab, ia tidak pernah menyinggung perihal ibunya, seperti halnya
ia tidak pernah menyinggung perihal isterinya.
Ibnu Hazm memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Ia
mempelajari berbagai bidang ilmu dan berguru kepada banyak ulama. Ia belajar
hadits, antar lain dari Ahmad Ibnu al-Jasur dan Abd Rahman al-‘Azdi. Gurunya
dibidang fikih antara lain, abdullah Ibnu Dahun, seorang faqih Malikiah yang
banyak memberikan fatwa di Cordova. Guru fiqh yang berjasa membawa Ibnu
Hazm kepada madzhab al-Zhahiri adalah
Mas’ud Ibnu Sulaiman Ibnu Maflah.
Ia memiliki banyak guru dan mempelaji banyak ilmu. Ia juga menerima
hadis, syari’ah, serta sastra dari para guru di Cordova, karena saat itu daerah
tersebut di penuhi oleh para ulama besar.
Setelah itu, Ibnu Hazm di serahkan kepada Abu Ali al-Husain bin Ali
al-Fasi, seorang ulama yang mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah,
maupun kewara’-annya. Di bawah bimbingan gurunya ini, ia mulai menuntut ilmu
secara intensif dengan menghadiri berbagai majelis ilmiah, baik di bidang agama
maupun umum. Ia belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Amir al-Jasur
ketika berusia 16 tahun. Pada saat itu, hadis dan fiqih merupakan dua bidang
ilmu yang berkaitan, sehingga dapat dikatakan bahwa ibnu Hazm juga mempelajari
fiqih di saat yang sama.
Ada banyak karya dari Ibnu Hazm. Menurut putranya, Abu Rafii
al-Fadl, seperti dikutip Yaqut, karya Ibnu Hazm mencapai jumlah sekitar 400
jilid setebal kurang lebih 80.000 halaman,[3]
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh seorang tokoh di dunia Islam sebelum
Ibnu Hazm kecuali Abu Ja’far al-Thabari.
Karya tulis Ibnu Hazm bisa dibedakan ada yang berbentuk buku
seperti, al-Fashal, al-Muhalla dan al-Ihkam, dan ada pula yang
berbentuk risalah, karya kecil.[4] Karyanya
meliputi bidang hukum, logika, sejarah, etika, perbandingan agama dan teologi.[5]
B.
Karir, Kondisi Sosial-Politik, dan Kecenderungan Madzhabnya
Dalam ketidakpastian politik, Ibnu Hazm mengikuti jejak ayahnya sebagai wazir
sebagai tiga periode, yakni pada masa Khalifah Abdurrahman IV al-Murtadha yang
menjadi pembantu Umayyah, pada masa Abdurrahman V al-Mustanshir, dan pada masa
Hisyam al-Mu’tad. Sepanjang hayatnya, Ibnu Hazm tidak hanya terlibat dalam
pekerjaan administrasi negara. Setelah situasi cukup aman, ia mulai
mengembangkan karirnya sebagai pengajar dan penulis hingga akhir hidupnya. Ibnu
Hazm wafat di desa Manta Lisham, dekat Sevilla.[6]
Tumbangnya Dinasti
Umayyah dan kegagalan di bidang politik tersebut menyadarkannya untuk kembali
menekuni dunia keilmuan secara lebih serius dan intensif hingga membawanya ke
puncak keilmuan dan mengukirkan diri dalam sejarah perkembangan intelektual
Islam. Pada awalnya, Ibnu Hazm menganut mazhab Maliki yang ketika itu merupakan
mazhab mayoritas dikawasan Andalusia dan Maghribi pada umumnya.
Dalam Perkembangan selanjutnya, Ibnu Hazm beralih ke mazhab Syafi’i.
Perpindahan ini agaknya merupakan bagian dari proses pembentukan dan masa
transisi kearah pencarian, pematangan diri, dan kemandirian pemikirannya.
Perpindahan tersebut memperlihatkan ketidak puasannya terhadap mazhab Maliki,
sikap ulama dan masyarakat dalam bertaklid kepada mazhab ini secara fanatik.
Kecenderungan Ibnu Hazm terhadap mazhab Zhahiri tampaknya terkait erat dengan
fenomena sosial politik dan keagamaan di Andalusia pada masa hidupnya. Krisis
politik yang berkepanjangan mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan. Penyelewengan
dan kezaliman al-Muluk al-Thawaif berakar pada ketidak tegasan
pelaksanaan syariat Islam, bahkan cenderung meninggalkannya. Sebagai fuqaha
mazhab Maliki di Andalusia yang memegang jabatan qadi menjadi kurang responsif,
oportunistik, tunduk pada kemauan politik, dan kebijakan hukum penguasa,
meskipun jelas-jelas menyimpang dari syariat. Mereka tidak lagi menjalankan
tugas amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka mengontrol pengusaha dan
berbagai kekuatan sosial yang bersaing tidak sehat.
Mereka tampil dalam
posisi yang lemah dan defensif dalam menghadapi kebijakan pemerintah dan
kekuatan yang lebih dominan yang terkait dengan syariat serta berlindung di
balik penggunaan ra’yi dalam rangka mengamankan diri dari tekanan
kezaliman penguasa yang menyeleweng itu.
Situasi Andalusia yang dipegang oleh para penguasa yang tidak cakap da lemah
mengundang kehadiran berbagai pihak lain yang bersaing dalam menanamkan
pengaruh untuk memperoleh legitimasi dalam memegang tampuk kekuasaan politik
yang sebenarnya.
Akibatknya, Khalifah
hanya menjadi simbol yang tidak berperan secara signifikan. Disamping itu,
muncul intervensi kekuatan non-muslim yang mengulurkan bantuan kekuatan kepada
pihak yang dianggap menginginkan bantuan tersebut. Bantuan tersebut sudah tentu
disertai persyaratan dan konsesi tertentu yang merugikan kaum muslimin.
Kerjasama ini dinilai Ibnu Hazm bertentangan dengan syariat Islam karena secara
politis memberi peluang kepada musuh untuk meruntuhkan Islam. Selanjutnya,
muncul al-Muluk al-Thawaif yang mempergunakan gelar Amirul Mukminin dan
gelar lainnya hanya layak bagi khalifah.Fuqaha Maliki tersebut cenderung
bersikap toleran terhadap penyimpangan mereka bahkan bersikap diam ketika salah
seorang dari mereka mengklaim dirinya sebagai khalifah keturunan Bani Umayyah
yang sebenarnya hanya seorang berkulit hitam yang berasal dari Afrika.
Kondisi sosial dan politik yang sedemikian parah telah menempatkan qiyas
dan istihsan sebagai alat bagi timbulnya kolusi antara sebagian fuqaha
dengan penguasa dalam memberikan berbagai fatwa hukum yang berkaitan dengan
realitas kehidupan yang rusak.
Untuk memperbaiki
kondisi tersebut, Ibnu Hazm memilih jalur untuk mengkaji hukum Islam mulai dari
awal dengan kebebasan berijtihad dan menola taklid. Menurutnya, ijtihad adalah
kembali kepada al-Qur’an dan hadis.Akibat sikapnya yang melawan arus itu,
banyak diantara para fuqaha Maliki yang membenci dan memusuhi Ibnu Hazm.
Sosok Ibnu Hazm adalah
seorang pemikir besar yang berasal dari suku Arab muslim. Ia telah membuktikan
dirinya sebagai sumber literatur, sejarahwan, filolog, retorik, qadi,
filosuf, dan teolog. Ia mampu menangkap dengtan cepat seluruh informasi
mutakhir yang membuatnya produktif, meluaskan pengajaran, menyebarkan bahasa
Arab, dan menyiapkan perangkat yang mendasari ilmu pengetahuan.
C.
Faktor yang menyebabkan Ibnu Hazm berpengetahuan dan memiliki
kepemimpinan hingga menjadi pemikir besar adalah :
1.
Berkepribadian
baik. Hal ini sangat penting dalam membentuknya sebagai seorang pemikir besar,
kuat daya ingatnya, tajam dalam pemikiran dan bicaranya, kuat pengamatannya dan
daya analisisnya yang patut dihargai.
2.
Keunggulan
yang diperolehnya melalui pendidikan menyatu dengan semangatnya dalam belajar
dan merespon hal-hal yang aktual membentuk luas dan dalam pengetahuannya.
3.
Penguasaanya
terhadap beberapa bahasa asing.
4.
Lingkungan
keluarga yang kondusif mempengaruhi perkembangan karirnya.
5.
Aktif
sebagai wazir dalam urusan publik dan administrasi, karir dalam bidang politik
dan militer ini membuatnya sangat tegas dan jelas dalam pemikirannya.
6.
Jabatan
yang dipegang memberikan pengaruh positif dalam pengembangan karirnya.[7]
D.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm
Beberapa pemikirannya yang terkenal dalam bidang Ekonomi antara
lain[8] :
1.
Masalah sewa tanah dan kaitannya dengan pemerataan kesempatan.
Sejalan
dengan pendekatan zahirinya, Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan
kesempatan berusaha dalam istinbat hukumnya di bidang ekonomi, sehingga
cenderung kepada prinsip-prinsip ekonomi sosial Islami yang mengarah kepada
kesejahteraan masyarakat banyak dan berlandaskan keadilan sosial dan
keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-qur’an dan Hadits. Oleh karena itu,
sebagian penulis kontemporer menyatakan sebagai perintis ekonomi sosialis yang
Islami. namun demikian, penilaian tersebut terlalu berlebihan dan cenderung
menarik-narik syariat Islam kepada suatu sistem ekonomi kontemporer produk
pemikiran Barat. Syariat Islam bukan merupakan sistem sosialis yang menekankan
kepemilikan kolektif sebagaimana pula bukan pemikiran kaum kapitalis yang
menekankan kepada kepemilikan individual. Diantara pernyataan Ibnu Hazm
berkenaan dengan sewa tanah adalah :
“Menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk
bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik
untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu, baik
dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa
batal selamanya.”
Selanjutnya, Ibnu Hazm menyatakan :
“Dalam persoalan tanah, tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah
(penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil produksinya atau mugharasah
(kerjasama penanaman). Jika terdapat bangunan pada tanah itu, banyak atau
sedikit, bangunan itu boleh disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi
tidak masuk dalam penyewaan sama sekali.”
Dengan pernyataan tersebut, Ibnu Hazm memberikan tiga alternatif
penggunaan tanah, yaitu:
a.
Tanah
dikerjakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri,
b.
Si
pemilik mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa sewa.
c.
Si
pemilik memberikan kesempatan orang lain untuk menggarapnya dengan bibit, alat,
atau tenaga kerja yang berasal dari dirinya, kemudian si pemilik memperoleh
bagian dari hasilnya dengan persentasi tertentu sesuai kesepakatan.
Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan
kaum Yahudi terhadap tanah Khaibar. Dalam sistem ini, jika tanaman itu
gagal, si penggarap tidak dibebani tanggung jawab tertentu. Pandangan tersebut
didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai berikut:
Dari
Rafi’ bin Khudaij r.a., ia berkata:
“Rasulullah Saw melarang
penyewaan tanah” (Riwayat Bukhari).[9]
Dari
Jabir bin Abdillah r.a., ia berkata:
“Rasulullah Saw melarang pengambilan upah atau bagian tertentu dari
tanah”. (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah ia
menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah
tanah tersebut”. (Riwayat
Muslim)
Pandangan Ibnu Hazm bertitik tolak dari status tanah sebagai barang
yang tidak hancur (sil’ah ghair istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran
hasil kerja dan kreasi manusia tidak menonjol. Yang tampak ialah bahwa tanah
itu merupakan ciptaan Allah Swt dimana manusia tinggal memanfaatkannya dan
mengklaim pemilikan dan penguasaannya. Dengan demikian, kepemilikan tersebut
tidak mutlak, tetapi justru relatif selama ia memanfaatkannya.
Jika tidak memanfaatkannya, ia harus memberikan kesempatan kepada
orang lain untuk memanfaatkannya sesuai dengan asas kepemilikan umum tanah
sebagai ciptaan Allah Swt. Oleh karena itu, menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa
disamakan dengan rumah atau peralatan yang secara nyata merupakan hasil kerja
dan jerih payah manusia untuk membuatnya sehingga dapat disewakan.
2.
Jaminan sosial bagi orang tak mampu
a.
Pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan
kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat pokok yang memenuhi standar kehidupan
manusia, yaitu: makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan (rumah). Makanan
dan minuman harus dapat memenuhi kesehatan dan energi. Pakaian harus dapat
menutupi aurat dan melindungi seseorang dari udara panas dan dingin serta
hujan. Rumah harus dapat melindungi seseorang dari berbagai cuaca dan juga
memberikan tingkat kehidupan pribadi yang layak.
Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi
tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi daripada pendapatan yang dapat
memenuhi kebutuhan, karena terjadi populasi yang meningkat cepat (akibat
kelahiran dan migrasi). Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin
dapat menambah kesulitan saat keadaan orang kaya mempengaruhi struktur
administrasi, cita rasa dan berbagai
pengaruh lain, seperti kenaikan tingkat harga dalam aktivitas ekonomi.
Berkenaan dengan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, Ibnu Hazm
memperluas jangkauan dan ruang lingkup kewajiban sosial lain di luar zakat,
yang wajib dipenuhi oleh orang kaya sebagai bentuk kepedulian tanggung jawab
sosial mereka terhadap orang miskin, anak yatim, dan orang yang tidak mampu
atau yang lemah secara ekonomi. Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang menarik
dalam masalah ini adalah sebagai berikut[10] :
“Orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib menanggung
kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan
hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal)
tidak cukup untuk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan
dari bahan makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim padan panas
yang layak, dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas
matahari, dan pandangan orang-orang yang lalu lalang.”
Ibnu Hazm mendasarkan pandangan terebut pada firman Allah Swt:
ÏN#uäur #s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# wur öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ
26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang
dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# wur (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur Ï 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷r& 3 ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä `tB tb%2 Zw$tFøèC #·qãsù ÇÌÏÈ
36. Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.
[294] dekat dan jauh di sini
ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara
yang muslim dan yang bukan muslim.
[295] Ibnus sabil ialah
orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. termasuk
juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
$tB óOä3x6n=y Îû ts)y ÇÍËÈ (#qä9$s% óOs9 à7tR ÆÏB tû,Íj#|ÁßJø9$# ÇÍÌÈ óOs9ur à7tR ãNÏèôÜçR tûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÍÍÈ
42. "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam
Saqar (neraka)?"
43. Mereka menjawab:
"Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
44. Dan kami tidak (pula)
memberi makan orang miskin
b.
Kewajiban mengeluarkan harta selain zakat
Mengenai adanya kewajiban harta selain zakat merupakan persoalan
yang diperselisihkan oleh fuqaha. Sebagian fuqaha menyatakan keberadaan
kewajiban harta yang harus dikeluarkan selain zakat. Pendapat ini dikemukakan
oleh banyak sahabat dan tabi’in, dan bukan merupakan sesuatu yang baru dalam
fiqih Islam dan Ibnu Hazm bukan orang pertama yang berpendapat demikian.
Sebagian fuqaha lain menyatakan tidak ada kewajiban harta selain
zakat. Harta yang dikeluarkan selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang
disunnahkan. Pendapat kedua ini masyhur dikalangan ulama fuqaha mutaakhirin,
sehingga nyaris tidak dilenal pendapat yang lain. Dalil yang dikemukakan oleh
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lainnya dari sahabat Thalhah
r.a., ia berkata :
“Seorang sahabat laki-laki dari
penduduk Najd dengan rambut tergerai datang mengadap Rosulullah saw. Suaranya
terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap. Setelah mendekati
Rosulullah saw, ia bertanya tentang islam. Kemudian Rosulullah saw menjawab
“lima kali shalat dalam sehari semalam”. Ia bertanya, “Apakah selain itu ada
yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu shalat sunnah.”
Rasul berkata, “Dan berpuasa Ramadhan”. Ia bertanya, “Apakah ada puasa yang lain
yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”.
Kemudian
Rasul menyebutkan zakat. Ia bertanya, “Apakah ada kewajiban selain zakat?”
Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu bersedekah sunnah”. Lantas laki-laki itu
berbalik seraya berkata, “Aku tudak akan menambahi ataupun menguranginya”.
Rasulullah Saw bersabda, “Dia beruntung jika jujur” atau “Dia masuk surga jika
jujur”.
Hadits
di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat, akan tetapi
sebenarnya harus dipahami dalam konteks kewajibannya sama persis dengan zakat,
yakni sebagai suatu kewajiban harta yang bersifat periodik, penyebab
kewajibannya melekat pada jenis dan jumlah harta itu sendiri dengan ketentuan
nisab dan kadar jumlah tertentu, tanpa memandang kondisi orang-orang yang
berhak menerimanya. Ini merupakan bentuk fardhu ain yang wajib dipenuhi oleh
seseorang yang memilki harta tertentu yang mencapai satu nisab, meskipun tidak
ada fakir miskin. Dalam kondisi normal, ia tidak dituntut lebih daripada itu.
Sebenarnya
perbedaan dari kedua pendapat tersebut tidak bertolak belakang sama sekali.
Kelompok pertama menyatakan sebagai kewajiban kifai, dan kelompok kedua
memandangnya sebagai sesuatu yang sangat dianjurkan.
3.
Zakat
Ibnu Hazm
menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan
peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Pemerintah sebagai pengumpul
zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang tidak mau membayar zakat,
sehingga orang mau mengeluarkan zakatnya, baik secara suka rela maupun
terpaksa. Jika ada yang menolak zakat sebagai kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan
cara ini, hukuman dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat,
baik secara tersembunyi maupun terang-terngan.
Ibnu Hazm
menekankan bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang. Seseorang yang harus
mengeluarkan zakat dan yang belum mengeluarkannya selama hayatnya harus dipenuhi
kewajibannya itu dari hartanya, sebab tidak mengeluarkan zakat berarti hutang
terhadap Allah SWT. Hal ini berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pandangan
konvensional yang jika tidak dibayarkan berarti kredit macet bagi negara dalam
periode waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu
tertentu.
4.
Pajak
Ibnu Hazm sangat fokus terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak,
sebelum segala sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban
pajak harus dipertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang
terhadap apa yang dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak
yang dikumpulkan. Hal ini mendiskusikan teori keuangan publik (public
finance) konvensional berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar
pajak. Besarnya nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai
dengan kualitas tanah.
Ibnu Hazm
sangat memperhatikan sistem pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini sikap
kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan
pajak juga tidak boleh melampui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar
zakat berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Hal ini mungkin terjadi
karena hilangnya hasrat orang untuk membayar pajak sehingga mengurangi dukungan
publik untuk tegaknya kekuasaan pemerintah dan menurunnya pendapatan pajak
potensial juga mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan
para petugas pajak.
Penghimpunan
administrasi pajak di Andalusia pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh S.M.
Imamuddin[11]
:
“Cabang
departemen keuangan terendah berada di pedesaan dan dikelola oleh seorang
kepala devisi yang disebut amil. Saat hasil panen tiba, ladang diawasi dan
hasil produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas yang disebut ash-shar.
Saat itu, ada mutaqabbil yang bertugas mengumpulakan pajak dan kewajiban lain
berkaitan dengan fiskal di wilayahnya. Untuk mengawasi para petugas ini dari
penipuan dan harga yang melebihi kewajiban dilakukan pengawasan ketat, sehingga
hal ini dilakukan, mereka akan ditangkap”.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Beberapa pemikiran ekonomi Ibnu Hazm yang terkenal yaitu:
1.
Masalah sewa tanah dan kaitannya dengan pemerataan kesempatan.
Menurut
Ibnu Hazm, Menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk
bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik
untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu, baik
dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa
batal selamanya.”
2.
Jaminan sosial bagi orang tak mampu
a.
Pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan
kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat pokok
yang memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu: makanan, minuman, pakaian, dan
perlindungan (rumah).
Ibnu Hazm mengingatkan bahwa
kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih
tinggi daripada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan, karena terjadi
populasi yang meningkat cepat (akibat kelahiran dan migrasi).
b.
Kewajiban mengeluarkan harta selain zakat
Harta yang dikeluarkan selain zakat
merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan.
3.
Zakat
Ibnu Hazm
menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan
peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Asumsinya, tidak mengeluarkan
zakat berarti hutang terhadap Allah SWT.
4.
Pajak
Ibnu Hazm sangat memperhatikan sistem pengumpulan pajak secara
alami. Dalam hal ini sikap kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus
dihindari. Pengumpulan pajak juga tidak boleh melampui batas ketentuan syariah.
Hilangnya para pembayar zakat berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Besarnya
nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Kontemporer. Depok :
Gramata Publising.
Amin, Husayn Ahmad. 1995. Al-Mi’ah al-A’zham Fi Tarikh al-Islam.
Kairo, Mesir : Maktabah Madhouli.
terj. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Cet I.
1995. Bandung : Rosdakarya.
Suwito, dan Fauzan. 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan. Cet I.
Bandung : Angkasa.
[1] Suwito,
dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Cet I., (Bandung
:Angkasa, 2003), hlm. 128. Lihat pula, Euis Amalia, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok : Gramata
Publising, 2010), hlm. 182.
[2]
Euis Amalia, Op. Cit., hlm. 182.
[3] Suwito,
dan Fauzan, Op. Cit., hlm. 130-131.
[4] Ibid.
[5]Husayn
Ahmad Amin, Al-Mi’ah al-A’zham Fi Tarikh al-Islam, Kairo, Mesir :
Maktabah Madhouli,
terj., Seratus Tokoh dalam Sejarah
Islam, Cet I., (Bandung :Rosdakarya, 1995), hlm. 127.
[6] Euis, Op.
Cit., hlm. 183.
[7] Ibid,
hlm.
186.
[8] Amalia, Op.Cit.,
hlm. 187.
[10] Amalia, Op.Cit., hlm. 191.
[11] Ibid,
hlm. 194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar